SACTI CLUB TAEKWONDO INDONESIA

Beranda » news » Beratnya Tanggung Jawab Moral Seorang Judansha

Beratnya Tanggung Jawab Moral Seorang Judansha

Blog Stats

  • 66.899 hits

RSS Feed yang Tidak Diketahui

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Sabuk Hitam adalah awal permulaan bagi taekwondoin untuk diuji tingkat kematangan dan pendewasaannya. Dan sejatinya ia adalah “Sabuk Putih yang tidak pernah berhenti Berlatih”

Seperti diketahui, sabuk taekwondo terdiri dari berbagai warna. Perbedaan sabuk tersebut menunjukan perbedaan tingkatan, keahlian dan senioritas dalam Taekwondo. Secara filosofis yang tercermin dari warna sabuk Taekwondo adalah sebagai berikut  : Sabuk Putih, melambangkan kesucian, awal/dasar dari semua warna, permulaan.  Sabuk Kuning, melambangkan bumi, di sinilah mulai ditanamkan dasar-dasar Taekwondo dengan kuat. Sabuk Hijau, melambangkan hijaunya pepohonan, pada saat inilah dasar-dasar Taekwondo mulai ditumbuhkembangkan. Sabuk Biru, melambangkan birunya langit yang menyelimuti bumi dan seisinya, memberikan arti bahwa kita harus mulai mengetahui apa yang telah kita pelajari. Sabuk Merah, melambangkan matahari, bahaya, artinya bahwa kita mulai menjadi pedoman bagi orang lain dan mengingatkan harus dapat mengontrol setiap sikap/tindakan kita. Dan Sabuk Hitam, melambangkan akhir, lawan dari putih, kedalaman hal ini melambangkan kematangan dalam berlatih dan penguasaan diri kita dari takut dan “kegelapan”.

Dengan filosofi tersebut maka sejatinya diharapkan seorang taekwondoin yang mengalami proses perubahan warna sabuk sebagai legitimasi eksistensi dirinya selaku taekwondoin, akan memperlihatkan pula perubahan menyeluruh dalam sikap hidupnya. Dengan kata lain, makna filosofi sabuk hitam sebenarnya awal atau permulaan.  Dalam konteks inilah sikap kematangan dan kedewasaan seorang pemegang sabuk hitam atau seorang taekwondoin, baru dimulai dan diuji. Dimulai karena secara filosofis nilai-nilai humanisme dan moralitas seorang taekwondoin tersebut mengejewantah dalam kehidupannya sehari-hari dan dalam kehidupannya ketika berlatih serta membina generasi-generasi taekwondoin selanjutnya.

Tanggung jawab moral seorang taekwondoin yang tersemat Sabuk Hitam memang sangat berat.  Ia harus terpelihara kesabuk-hitamannya, sehingga layak disebut sebagai seorang Judansha. Jika ia tidak menjaga sabuk hitamnya, tanpa terus melakukan proses pemeliharaan dan peningkatan kemampuan dirinya mengelola jati diri seorang Judansha, maka keniscayaan pula sejatinya sabuk hitam yang tersemat dalam dirinya itu, lama kelamaan akan luntur tingkatan filosofisnya. Ia hanya sekedar sabuk yang melingkar dipinggangnya sebagai assesoris, tanpa isi dan makna karena nilai-nilai dan substansinya tak berintegrasi dengan dobok yang melekat dalam tubuhnya.

Banyak contoh misalnya, bagaimana seorang sabuk hitam tidak mengerti dan tidak paham tentang teknik taekwondo yang dimilikinya. Banyak dari kita seorang sabuk hitam yang tidak mampu menjaga dan memberikan contoh perilaku dan sikap yang baik terhadap anak-anak didiknya dan para junior dibawahnya.

Dalam konteks inilah sejatinya kita bisa mengukur bahwa tingkat kematangan dan proses pendewasaan diri seorang sabuk hitam tidak bertalian kelindan dengan umur seorang pemegang sabuk hitam tersebut. Bisa jadi seseorang yang bukan sabuk hitam sekalipun, dia bisa menunjukkan jati dirinya sebagai seorang sabuk hitam apabila secara teknik dan dengan nilai-nilai filosofis yang tertanam dalam falsafah taekwondo-nya, ia pahami dengan baik dan terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.

Intinya adalah Sabuk Hitam adalah “Sabuk Putih yang tidak pernah berhenti Berlatih”. Oleh karenanya sangat penting bagi para Judansha penyandang Sabuk Hitam, apalagi penyandang tingkatan DAN untuk menjaga sikap mental, semangat dan antusiasme mereka,  sama seperti saat mereka menjadi sabuk putih ketika saat pertama kali belajar Taekwondo dulu.

Seorang penyandang sabuk hitam harus menjaga sikap hormat pada senior dan sesama Taekwondoin, hasrat untuk terus belajar meningkatkan kemampuan diri, giat berlatih, berbagi ilmu dan pengalaman serta menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan persaudaraan. Disamping itupula seorang Judansha juga harus tertanam dalam dirinya sifat kesediaan untuk mendengarkan orang lain, keinginan untuk maju dan berkembang bersama.

Buah yang hijau akan terus tumbuh, sedangkan buah yang matang akan segera busuk dan ditumbuhi ulat dan belatung. Insan yang cepat merasa puas dan cepat merasa sudah merasa dirinya dipuncak,  akan mudah disusupi ulat dan belatung kesombongan dan egoisme sempit, merasa paling hebat, paling benar, paling berhak dan merasa paling harus diikuti dan didengar.

Karenanya penting untuk menjaga sikap mental seorang penyandang sabuk putih dalam diri kita dan untuk menjaga diri kita tetap hijau selalu supaya terus bertumbuh dan berkembang.

Black belt is a new beginning to advanced learning. Sebenarnya seorang Judansha yang mendidik juniornya juga memiliki kesempatan belajar yang banyak. Belajar mengevaluasi diri, belajar bersabar menghadapi karakter orang yang bervariasi, belajar bekerjasama dengan sesama Judansha (maupun juniornya) dan sebagainya.

Terkait dengan hal itulah maka perkembangan taekwondo Indonesia, dengan segala dinamika pencapaian prestasi yang telah di raih, sejatinya  merupakan buah dari peran kita semua sebagai penyandang sabuk hitam. Baik buruknya taekwondo Indonesia adalah karena peran kita juga sebagai penyandang sabuk hitam.  Intinya, apapun itu jeleknya taekwondo adalah peran kita juga. Jangan ketika jeleknya kita tunjuk orang
Ketika berhasil kita tunjuk diri sendiri.

Oleh karenanya, tanggung jawab moral seorang penyandang sabuk hitam haruslah terus tertanam dalam diri. Yang paling penting bukan sudah berapa tahun lamanya kita menyandang sabuk hitam atau DAN.  Yang terpenting adalah sudah berapa banyak jam latihannya, upaya fisik, mental dan spiritual yang didedikasikan untuk berlatih mengembangkan diri menjadi seorang Taekwondoin yang lebih baik serta memberikan pengaruh yang positif bagi generasi taekwondoin juniornya agar lebih baik dari dirinya.

Buat apa membangga-banggakan sudah 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun ditingkatan Geup atau DAN yang sekarang,  jika selama itu kita tidak pernah atau hanya sedikit sekali berlatih dan dobok serta sabuknya jamuran disimpan dilemari. Atau jika memakai dobok dan sabuk penuh bordiran legendaris kebanggaan bagusnya hanya untuk dilihat orang guna membanggakan diri tanpa pernah berlatih.

Judansha DAN 5 yang latihan dua kali setahun apakah lebih baik dari Judansha DAN 1 yang berlatih rutin dua kali seminggu ?

Latihan dua kali setahun (kalau ingin) dikali 5 tahun = 10 kali latihan dalam 5 tahun dan tidak ingin ketinggalan ambil ujian DAN 6 secepatnya berbekal latihan 10 kali
Dibandingkan latihan seminggu dua kali dikali 50 minggu (dalam setahun) = 100 kali latihan dalam satu tahun untuk bekal mengambil ujian ke DAN 2. Mana yang lebih baik ?

Sesungguhnya pada saat memperagakan teknik, saat berbicara, saat berinteraksi dengan orang lain dan seterusnya,  sejatinya sudah menunjukan tingkatan kita masing-masing. *) Adt,  Florian Arizona, Ade Muhammad Sujud. (sumber : Taekwondo Indonesia News_edisi 10)


Tinggalkan komentar